Minggu, 22 April 2012

Islam: Penemu, Peletak Dasar, dan Pengembang Ilmu Pengetahuan


Sejarah membuktikan bahwa para pemikir muslim merupakan penemu, peletak dasar, dan pengembang berbagai bidang-bidang ilmu. Nama-nama pemikir muslim bertebaran di sana-sini menghiasi arena ilmu-ilmu pengetahuan. Baik ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial. Mulai dari filsafat, matematika, astronomi, ilmu optik, biologi, kedokteran, sejarah, sosiologi, psikologi, pedagogi, sampai sastra. Termasuk juga, tentunya, ekonomi.

Para pemikir klasik muslim tidak terjebak untuk mengkotak-kotakan berbagai macam ilmu tersebut seperti yang dilakukan oleh para pemikir saat ini. Mareka melihat ilmu-ilmu tersebut sebagai “ayat-ayat” Allah yang bertebaran di seluruh alam. Dalam pandangan mereka, ilmu-ilmu itu walaupun sepintas terlihat berbeda-beda dan bermacam-macam jenisnya, namun pada hakekatnya berasal dari sumber yang satu, yakni dari Yang Maha Mengetahui seluruh ilmu, Yang Maha Benar, Allah SWT. Para pemikir muslim memang melakukan klasifikasi terhadap berbagai macam ilmu, tetapi yang dilakukan oleh mereka adalah pembedaan, bukan pemisahan. Karenanya tidaklah mengherankan bila para pemikir klasik muslim menguasai berbagai macam bidang ilmu. Ibnu Sina (980-1037M), sebagai contoh, selain terkenal sebagai ahli kedokteran, juga adalah ahli filsafat. Bahkan ia juga mendalami psikologi dan musik. Al-Ghazali (450H/1058M-505H/1111M) selain banyak membahas masalah-masalah fiqih (hukum), ilmu kalam (teologi), dan tasawuf, beliau juga banyak membahas masalah filsafat, pendidikan, psikologi, ekonomi, dan pemerintahan. Ibnu Khaldun (1332-1404M) selain banyak membahas masalah sejarah, juga banyak menyinggung masalah-masalah sosiologi, antropologi, budaya, ekonomi, geografi, pemerintahan, pembangunan, peradaban, filsafat, epistemologi, psikologi, dan juga futurologi.
Sayangnya, tradisi pemikiran seperti ini tidak berlanjut sampai sekarang karena mundurnya peradaban umat muslim di hampir segala bidang. Kemunduran ini sebagian disebabkan karena musuh dari luar, sebagian lagi disebabkan oleh sikap umat muslim sendiri. Umat muslim tidur lama dalam tidur nyenyaknya. Kegiatan berfikir terhenti, sehingga umat muslim mengalami kemerosotan di segala bidang. Mulai dari bidang politik, ekonomi, teknologi, ilmu pengetahuan, sosial, seni, dan kebudayaan. Lama-kelamaan peradaban muslim tidak terdengar lagi gaungnya untuk jangka waktu yang lama. Bahkan negeri-negeri muslim akhirnya menjadi sasaran empuk penjajahan bangsa-bangsa non-muslim.
Banyak institusi khas Islam yang terpinggirkan (untuk tidak menyebut hilang). Kedaulatan politik diambil alih oleh bangsa penjajah. Sistem hukum Islam yang berlaku diganti dengan sistem hukum penjajah warisan Romawi. Institusi ekonomi Islam (baitul maal, al-hisbah, suftaja, hawalah, funduq, dar al-Tiraz, Ma’una, dan lain-lain) terpinggirkan. Dalam bidang seni dan budaya, terjadi pengekoran yang membabi buta terhadap budaya Barat. Dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan, terjadi sekularisasi. Hasilnya, pada masa kini umat muslim identik dengan kebodohan dan kemiskinan (sungguh ironis mengingat ayat Al-Quran yang pertama turun adalah perintah “Iqra!”: “Bacalah!”, dan mengingat salah satu doa Nabi SAW yang selalu beliau ulang-ulang: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran dan kefaqiran...”
Di tengah-tengah keadaan seperti ini, terjadilah proses kehilangan fakta-fakta sejarah, baik disengaja maupun tidak. Andil pemikir-pemikir muslim dalam ilmu-ilmu pengetahuan tertutupi, sehingga bila kita membaca buku-buku sejarah ilmu pengetahuan, maka kebanyakan menyatakan bahwa sejak zaman filosof-filosof Yunani yang masyhur (Socrates, Plato, Aristoteles, dll) beberapa abad sebelum masehi, terjadi kekosongan perkembangan ilmu pengetahuan. Hal ini dialami oleh semua ilmu, tidak terkecuali ilmu ekonomi.
Joseph Schumpeter, misalnya, dalam buku magnum opus-nya menyatakan adanya great gap dalam sejarah pemikiran ekonomi selama 500 tahun, yaitu masa yang dikenal sebagai dark ages. Masa kegelapan barat itu sebenarnya merupakan masa kegemilangan umat muslim, suatu hal yang berusaha ditutup-tutupi oleh Barat karena pemikiran ekonom muslim pada masa inilah yang kemudian banyak dicuri oleh para ekonom Barat. Para ekonom muslim sendiri mengakui, mereka banyak membaca dan dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Aristoteles (367-322 SM) sebagai filsuf yang banyak menulis masalah ekonomi. Namun, mereka tetap menjadikan Quran dan Hadits sebagai rujukan utama dalam menulis teori-teori ekonomi Islam. Schumpeter menyebut dua kontribusi ekonom Skolastik, yaitu penemuan kembali tulisan-tulisan Aristoteles dan towering achievment St. Thomas Aquinas (1225-1274). Schumpeter hanya menulis tiga baris dalam catatan kakinya nama Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd dalam kaitan proses transmisi pemikiran Aristoteles kepada St. Thomas. Pemikiran ekonomi St. Thomas sendiri banyak yang bertentangan dengan dogma-dogma gereja sehingga para sejarawan menduga St. Thomas mencuri ide-ide itu dari para ekonom Islam.
Adapun proses pencurian terjadi dalam berbagai bentuk. Pada abad ke-11 dan ke-12, sejumlah pemikir Barat seperti Constantine the African, Adelard of Bath melakukan perjalanan ke Timur Tengah. Mereka belajar bahasa Arab dan melakukan studi serta membawa ilmu-ilmu baru ke Eropa. Contohnya, Leonardo Fibonacci atau Leonardo of Pisa belajar di Bougie, Aljazair pada abad ke-12. Ia juga belajar aritmetika dan matematika Al-Khawarizmi (780-850 M) dan sekembalinya dari sana ia menulis buku Liber Abaci pada 1202. Raymond Lily (1223-1315) yang telah melakukan perjalanan ke negara-negara Arab mendirikan lima universitas yang mengajarkan bahasa Arab sehingga banyak yang kemudian menerjemahkan karya-karya ekonom Islam. Di antara penerjemah tersebut adalah Adelard of Bath, Constantine the African, Michael Scot, Hermaan the German, Dominic Gundislavi, John of Seville, Plato of Tivoli, William of Luna, Robert Chester, Gerard of Cremona, Theodorus of Antioch, Alfred of Sareshel, Berenger of Valencia, dan Mathew of Aquasparta. Sementara itu, di antara penerjemah Yahudi adalah Jacob of Anatolio, Jacob ben Macher Ibn Tibbon, Kalanymus ben Kalonymus, Moses Ben Solomon of Solon, Shem-Tob ben Isaac of Tortosa, Solomon ibn Ayyub, Todros Todrosi, Zerahiah Gracian, Faraj ben Salim, dan Yaqub ben Abbon Marie. Adapun karya-karya ekonom muslim yang diterjemahkan adalah Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina, Al Ghazali, Ibnu Rusyd, Al Khawarizmi, Ibnu Haytham, Ibnu Hazm, Jabir Ibnu Hayyan, Ibnu Bajja, Ar Razi.
Beberapa pemikiran ekonom muslim yang dicuri tanpa pernah disebut sumber kutipannya antara lain:
·      Teori Pareto Optimum diambil dari kitab Nahjul Balaghah Imam Ali.
·      Bar Hebraeus, pendeta Syriac Jacobite Chruch, menyalin beberapa bab Ihya Ulumuddin Al Ghazali.
·      Gresham-law dan Oresme Treatise-dari kitab Ibnu Taimiyah.
·      Pendeta Gereja Spanyol Ordo Dominican Raymond Martini menyalin banyak bab dari Tahafut Al Falasifa, Maqasid Al Falasifa, Al Munqid, Misykat Al Anwar, dan Ihya Ulumudin Al-Ghazali.
·      St. Thomas menyalin banyak bab dari Al-Farabi (St. Thomas yang belajar di Ordo Dominican mempelajari ide-ide Al-Ghazali dari Bar Hebraeus dan Mrtini).
·      Bapak Ekonomi Barat, Adam Smith (1776 M), dengan bukunya The Wealth of Nations diduga banyak mendapat inspirasi dari buku Al-Amwal nya Abu Ubayd (838 M) yang dalam bahasa Inggrisnya adalah persis judul bukunya Adam Smith The Wealth.
Dengan demikian, pemikir-pemikir ekonomi muslim telah mengidentifikasi banyak konsep, variabel, dan teori-teori ekonomi yang masih relevan hingga kini. Ibnu Al-Nadim (438H/1047M) mencatat nama beberapa ulama dengan sejumlah karya ilmiah yang secara khusus membahas masalah ekonomi dan keuangan. Sebagian karya itu ada yang masih bertahan sampai sekarang, sebagian lagi sudah hilang. Yang hilang itu antara lain adalah:
·      Hafshawaih: “Kitab Al-Kharaj”.
·      Al-Hasan Bin Ziyad Al-Lu’lu’i (204H/819M): “Al-Kharaj” dan “Al-Nafaqat”
·      Al-Haetsam Bin Adi Al-Kufi (114-207H/732-831M)
·      Ibnu Daud (208H/823M)
·      Al-Ashma’i, Abu Sain Abdul Malik (122-216H/740-831M): “Kitab Al-Kharaj”.
·      Ibn Al-Madini, Ali Bin Abdullah Bin Ja’far Al-Sa’di (161-234H/777-849M): “Amwal Al-Nabi Shalallahu ‘Alaih Wasallam”.
·      Ja’far Bin Mubasysyir (234H/848M).
·      Abul ‘Abbas Al-Ahwal (270H/883M).
Adapun yang sampai ke tangan kita / masih bertahan sampai sekarang adalah:
·      “Risalat Al-Shahabah”, karya Abdullah Bin Al-Muqaffa’ (109-145H/727-762M). Buku ini ditulis untuk seorang khalifah Abasiyah, Abu Ja’far Al-Mansur (136-158H/754-775M). Isinya secara umum berbicara tentang kebijakan dan administrasi keuangan negara.
·      “Kitab Al-Kharaj”, karya Abu Yusuf (113-182H/731-789M). Buku ini ditulis sebagai jawaban atas 26 pertanyaan yang diajukan oleh Harun Al-Rasyid (170-193H/786-809M) dalam kurun waktu antara tahun 170H-171H.
·      “Kitab Al-Kharaj”, karya Yahya bin Adam Al-Qurasyi (140-203H/757-818M). Buku kecil ini mengumpulkan hadits-hadits yang terkait dengan Fiqh Al-Amwal.
·      “Kitab Al-Amwal”, karya Abu Ubaid Al-Qasim Bin Sallam (157-224H/774-838M). Buku ini membahas kebijakan keuangan negara. Dibandingkan yang lain, buku ini merupakan yang paling komprehensif yang lengkap.
·      “Kitab Al-Amwal”, karya Abu Hamid bin Zanjawaih (180-251H/796-865M)
Kitab-kitab di atas itu adalah yang berhasil dicatat oleh Ibn Nadim hingga tahun 1047 M. Setelah tahun tersebut, banyak lagi pemikir muslim yang lahir dan menyumbangkan pemikiran-pemikiran ekonominya, misalnya Abu Hamid Al-Ghazali (1058-1111), Ibn Taimiyah (1283-1328), dan Ibn Khaldun (1332-1404).
Berdasarkan hal tersebut para pemikir Islam sebenarnya telah memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi perkembangan ilmu ekonomi modern. Hal ini berarti juga bahwa teori ekonomi Islam sebenarnya bukan ilmu baru.
Oleh karena itu sikap umat Islam terhadap ilmu-ilmu dari Barat, termasuk ilmu ekonomi versi “konvensional”, adalah la tukadzibuhu jamii’a, wala tushahhihuhu jamii’a (jangan tolak semuanya, dan jangan pula terima semuanya). Maka ekonom muslim muslim tidak perlu terkesima dengan teori-teori ekonomi Barat. Ekonom muslim perlu mempunyai akses terhadap kitab-kitab klasik Islam. Di lain pihak, Fuqaha Islam juga perlu mempelajari teori-teori ekonomi modern agar dapat menerjemahkan kondisi ekonomi modern dalam bahasa kitab klasik Islam.

Billahi Fi Sabilil Haq. Fastabiqul Khairat.
Wallahu ‘alam bi shawab.



Referensi:
-       QS. Al-‘Alaq:1
-       Ismail Ya’kub, Sejarah Ringkas Al-Ghazali dalam Ihya’Al-Ghazali Edisi Indonesia (Jakarta: CV. Faizan, 1983).
-       Joseph A. Schumpeter, A History of Economic Analysis (New York: Oxford University Press, 1954).
-       Muhammad Anis Matta, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, dalam Mustafa Kamal, Wawasan Islam dan Ekonomi: Sebuah Bunga Rampai (Jakarta: LPFEUI, 1997), h. 91-92.
-       Adiwarman A. Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), Edisi kedua.
-       Muhammad Nejatullah Siddiqi, Muslim Economic Thinking: A Survey of Contemporary Literature, (Leicester: The Islamic Foundation, 1981).

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites