Minggu, 22 April 2012

Nalar Politik Gerakan Mahasiswa: Antara Idealisme dan Pragmatisme


Oleh: Alif Furqoni A. W*

Berbicara tentang perubahan masyarakat tidak bisa dilepaskan dari peran mahasiswa. Tinta sejarah telah mencatat bahwa dengan segala militansi yang dimiliki kaum mahasiswa memperjuangkan dan mengawal kemerdekaan yang menjadi isu sentral dalam perjuangan yang tak pernah surut.

Gerakan mahasiswa adalah gerakan mempersoalkan ketimpangan dan kesenjangan menentang realitas objektif yang dianggap bertentangan dengan realitas subjektif. Gerakan mahasiswa memperjuangkan nilai-nilai yang menyangkut dengan kehidupan orang banyak yang termanifestasi dalam bentuk aksi-aksi yang bersifat lunak maupun aksi-aksi yang radikal.
Dalam konteks kekinian di era pasca reformasi gerakan mahasiswa seakan-akan kehilangan nilai perjuangannya. Gerakan mahasiswa tergerus dan larut dalam budaya hedonisme dan  terombang-ambing dalam pergulatan politik pragmatisme.
Sekat-sekat kepentingan dan ego sentris masing-masing gerakan kemahasiswaan menyebabkan semakin jauhnya gerakan mahasiswa dari persatuan. Gerakan mahasiswa berjalan nafsih-nafsih yang bersumbu kepada kepentingan masing-masing golongan, tidak lagi bertumpu pada nilai perjuangan bersama, akibatnya gerakan mahasiswa tidak mendapat legitamasi yang kuat dari masyarakat dan hanya dianggap sebagai bagian dinamika kehidupan dalam alam demokrasi, padahal kejahatan yang terjadi saat ini adalah kejahatan kompleks yang sulit untuk ditoleransi.
Sejarah telah membuktikan kepada kita, entah berapa banyak pejuang kebenaran dan pembela orang-orang tertindas yang kemudian akhirnya “kalah”, bukan karena musuhnya, tapi ketidakmampuan menghadapi dirinya sendiri, padahal perjuangan ini membutuhkan orang-orang yang “ sudah selesai dengan dirinya”, agar ia bisa memberi.
Berbicara mahasiswa di era kekinian tidak bisa dilepaskan dengan dunia politik. Aktivitas politik di kalangan mahasiswa dan elit gerakannya pun mempunyai penafsiran yang sangat beragam. Tergantung sejauh mana pengetahuan dan pemahaman tentang politik dan aplikasi praksisnya.
Di dunia aktivis, terutama aktivis mahasiswa, kata "pragmatis" sudah tak asing lagi. Kata ini digunakan untuk melabeli tindakan seseorang yang hanya berfokus pada kepentingan diri sendiri. Seakan-akan, semua hal di dunia ini hanya bermanfaat jika memberi untung bagi dirinya. Pragmatisme ini pun di dunia aktivis gerakan mahasiswa sangat sering sekali dinegasikan dengan kata “idealis”. Idealis dan pragmatis. Ya, kedua kata inilah yang sangat popular bila dihubungkan dengan nalar politik gerakan mahasiswa hari ini.
Kampus sebagai basis gerakan mahasiswa yang juga merupakan miniatur kehidupan nyata yang lebih kompleks ternyata mampu membuat mahasiswa beraktualisasi mengeksplorasi segala yang ada dalam dirinya. Politik kampus dalam bingkai demokrasi tidak jarang sebagai lahan basah yang menjadi garapan utama gerakan mahasiswa hari ini. Sampai-sampai sering sekali melupakan perannya yang lain yang sebenarnya lebih utama. Senantiasa berada ditengah-tengah massa ,membimbing massa, mengarahkan massa dan bersama-sama dengan massa melakukan perubahan ke arah yang lebih baik dan lebih madani. (Ali Saryati)
Politik kampus dalam hal perebutan kekuasaan di lembaga public, baik Eksekutif Mahasiswa maupun Dewan Perwakilan Mahasiswa seharusnya merupakan sarana efektif bagi pendidikan politik nilai bagi kaum intelektual. Namun hal itu sering terlupakan oleh halusinasi kekuasaan. Lembaga public seharusnya merupakan lembaga yang dapat dinikmati oleh segala kelompok untuk melakukan pembangunan dan perbaikan bersama. Bukan malah menjadi kekuasaan golongan tertentu.
Politik kampus yang notabene dilakukan oleh pelaku-pelaku intelektual seharusnya dapat menempatkan diri sesuai dengan koridor politik etis, politik nilai. Namun tidak jarang kaum intelektual itu sendiri yang menerabasnya. Tidak peduli apakah itu kelompok berdasarkan agama atau tidak.
Tampaknya gerakan mahasiswa dan orang-orang di dalamnya harus pandai-pandai menempatkan diri secara proporsional. Jangan hanya bangga terhadap symbol-simbol keagamaan yang melekat pada dirinya, namun secara tidak sadar, perilaku politiknya juga mencederai pihak lain. Merasa sangat menjunjung tinggi idealism, padahal dalam praktiknya malah terkesan sangat pragmatis. Inilah sebuah paradoks. Selagi masih mengerti akan arti idealisme, seyogyanya harus bisa juga menyuburkan nilai-nilainya. Bukan malah terjebak dan larut dalam kultur pragmatisme tunanurani.

*Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Komisariat Universitas Brawijaya periode 2011-2012

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites