Rabu, 25 April 2012

FIQIH MENUTUP AURAT


 
Para ulama hingga kini masih berbeda pendapat mengenai batas-batas aurat wanita muslimah, Yang demikian itu, karena terdapat perbedaan penafsiran terhadap surat an-Nur (24): 30-31. ayat-ayat yang membahas batas-batas aurat,  baik yang terdapat  pada surat an-Nur maupun yang terdapat pada surat lainnya yang ada  munasabahnya. Ayat-ayat yang dimaksudkan ialah:


Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat". (QS. An Nur: 24).

Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (An Nur: 31) 

(Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Ahzab: 59)

Untuk memahami ayat-ayat tersebut, perlu memahami lebih dahulu dua kata kunci yaitu: ‘aurah dan jilbab. ‘Aurah, menurut bahasa berarti: segala  sesuatu yang harus ditutupi; segala sesuatu yang menjadikan malu apabila dilihat. (Luis Ma’luf, di bawah arti ‘awira). Menurut istilah,  ‘aurah ialah anggota badan manusia yang wajib ditutupi, dan haram dilihat oleh orang lain, kecuali orang-orang yang disebutkan pada surat an-Nur (24): 31. Dalam bahasa Indonesia, ‘aurah  disebut dengan istilah aurat.
Jilbab, berasal dari kata  jalbaba yang berarti memakai baju kurung. Para ulama berbeda pendapat mengenai arti  jilbab. Sebagian ulama mengartikannya baju kurung; sedang ulama lainnya mengartikannya baju wanita yang longgar yang dapat menutupi kepala dan dada. Al-Asy’ary berpendapat bahwa jilbab ialah baju yang dapat menutupi seluruh badan. Ulama lainnya berpendapat, bahwa jilbab ialah kerudung wanita yang dapat menutupi kepala, dada, punggung. (Ibnu Manzur,  Lisan al-Arab, dibawah art.  jalaba). Menurut Ibnu Abbas, jilbab ialah jubah yang dapat menutup badan dari atas hingga ke bawah. (al-Qasimy, XIII: 4908). Menurut al-Qurtuby, jilbab ialah baju yang dapat menutup seluruh badan. (al-Qurtuby, VI: 5325).
Dari penjelasan tersebut dapatlah ditarik kesimpulan bahwa jilbab mempunyai dua pengertian:
1.      Jilbab ialah kerudung yang dapat menutup kepala, dada dan punggung yang biasa dipakai oleh kaum wanita.
2.      Jilbab ialah semacam baju kurung yang dapat menutup seluruh tubuh, yang biasa dipakai kaum wanita.
Jika kedua pengertian tersebut digabungkan, maka yang dimaksud dengan jilbab ialah: pakaian wanita yang terdiri dari kerudung dan baju kurung yang dapat menutup seluruh auratnya.
Ayat 59 surat al-Ahzab (33), termasuk ayat-ayat Madaniyah, sebab seluruh ayat dari surat al-Ahzab adalah Madaniyah. (al-Qasimiy, 1978, XIII:221) Adapun sabab nuzul ayat tersebut, menurut  riwayat Abi Salih ialah sebagai berikut: Ketika Rasulullah saw  datang di Madinah, jika istri beliau dan para wanita muslimah keluar malam untuk suatu keperluan, sering diganggu oleh orang-orang laki-laki yang duduk dipinggir jalan. Setelah dilaporkan kepada Rasulullah, maka turunlah ayat ini (al-Ahzab, (33):59). (at-Tabariy, tt, Tafsir at-Tabariy, XXII:34).
Pada ayat sebelumnya, Allah menjelaskan bahwa orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat sebenarnya telah melakukan dosa besar dan sangat tercela, maka pada ayat berikutnya, Allah memerintahkan pada Nabi saw agar para isteri beliau dan para wanita muslimat menutup aurat dengan sebaik-baiknya, supaya mudah dibedakan antara orang yang terhormat dan orang yang tidak terhormat, untuk menjaga diri dari gangguan laki-laki jahat yang sering mengganggu di pinggir jalan.
Pada permulaan masa Islam, di Madinah masih banyak orang jahat yang suka mengganggu wanita, sebab para wanita pada waktu itu masih selalu memakai pakaian harian sebagaimana pada masa jahiliyah, sehingga tidak dapat dibedakan antara orang terhormat dan orang yang tidak terhormat. Kadang-kadang mereka menggangu wanita muslimah dengan alasan tidak dapat mengenalnya, dan menyangkanya sebagai wanita yang tidak terhormat, karena itulah wanita muslimah diperintahkan  memakai mode pakaian yang berbeda dengan mode pakaian yang dipakai oleh wanita yang tidak terhormat. (al-Qasimiy, 1978, XIII:4908).
Al-Qurtubiy dalam tafsirnya mengatakan, pakaian penutup aurat hendaklah terbuat dari bahan yang tidak  tembus pandang, agar warna kulit tidak kelihatan, dan berbentuk longgar, agar  bentuk badannya tidak tampak, kecuali apabila sedang bersama suaminya, sebab pakaian tembus pandang dan sempit, tidak memenuhi fungsinya sebagai penutup  aurat, maka Rasulullah saw pernah bersabda:
ﺓﺮﺧﻷﺍ ﺔﻳﺭﺎﻋ ﺎﻴﻧﺪﻟﺍ ﺔﻴﺳﺎﻛ ﺏﺭ  
  “Kadang-kadang wanita berpakaian di dunia, tetapi telanjang di akhirat.” (al-Qurtubiy, tt, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, VI:5326).
Sekalipun ayat tersebut disampaikan dalam bentuk  khabariyah (berita), tetapi didalamnya terkandung makna perintah yang menunjukkan kepada wujub (kewajiban). Menurut ilmu  balaghah,  bentuk khabariyah itu lebih  baligh (tegas dan tepat) daripada bentuk  insya’iyah amr (perintah), maka jelaslah bahwa menutup aurat merupakan kewajiban bagi kaum muslimin dan muslimat, bukan hanya keluarga Nabi saw, dan para wanita Madinah, sebab ayat tersebut berlaku umum, sekalipun diturunkan karena sebab khusus.
Allah mewajibkan orang-orang muslimah untuk menutup auratnya agar kehormatannya terjaga dari pandangan yang menyakitkan, kata-kata yang menyengat, jiwa yang sakit dan niat jahat laki-laki yang tidak berakhlak, sebagaimana ditegaskan dalam surat an-Nur (24):31. Kewajiban menutup aurat bukanlah merupakan adat kebiasaan atau tradisi Arab sebagaimana dikatakan oleh sebagian orang. Islam mewajibkan menutup aurat adalah bertujuan untuk memotong niat jahat para syaitan, sehingga mereka tidak dapat menggoda hati para laki-laki dan  para wanita. Itulah yang dimaksudkan dengan firman-Nya: “Zalika azka lahum” (yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka). (an-Nur (24):30).

Batas-batas Aurat
Para ulama berbeda pendapat dalam  menetapkan batas aurat, karena perbedaan penafsiran terhadap ayat tentang aurat. Para ulama telah sepakat bahwa antara suami dan isteri tidak ada aurat, berdasarkan firman-Nya:

“…Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal itu tiada tercela”. ( al-Mu’minun (23): 6). (as-Ssabuniy, 1971, II: 154).
 
Maka yang dibahas disini adalah aurat lak-laki dan perempuan terhadap orang lain.
1.      Aurat Laki-laki Terhadap Laki-laki: Menurut jumhur ulama, aurat laki-laki terhadap laki ialah antara pusat perut hingga lutut, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Jurhud al-Aslamiy, ia berkata: Rasulullah saw duduk diantara kita dan paha saya terbuka, kemudian beliau bersabda:
ﺓﺭﻮﻋ ﺬﺨﻨﻟﺍ ﻥﺃ ﺖﻤﻠﻋ ﺎﻣﺃ  
Ketahuilah bahwa paha adalah aurat”. (ditahrijkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmiziy, dari Jurhud al-Aslamiy
2.      Aurat Perempuan Terhadap Perempuan: Jumhur ulama berpendapat bahwa aurat perempuan terhadap perempuan adalah sama dengan aurat laki-laki terhadap laki-laki.
3.      Aurat Laki-laki Terhadap Perempuan: Jumhur ulama berpendapat bahwa aurat laki-laki terhadap perempuan adalah dari pusat perut hingga lutut, baik terhadap mahraam maupun bukan mahram. (as-Sabuniy, 1971, II:153)
4.      Aurat Perempuan Terhadap Laki-laki: Para ulama berbeda pendapat tentang aurat perempuan terhadap laki-laki, dan diantara pendapat-pendapat tersebut ada dua pendapat yang diikuti oleh banyak orang, yaitu:
  1. Asy-Syafi’iyah dan al-Hanabilah berpendapat bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat, dengan alasan:
1). Firman Allah:  Wala Yubdina Zinatahunna (dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya). (an-Nur (24): 31). Ayat tersebut dengan tegasa melarang memaparkan perhiasannya. Mereka membagi zinah (perhiasan) menjadi dua macam: Pertama zinah khalqiyyah (perhiasan yang bereasal dari penciptaan Allah), seperti wajah, ia adalah asal keindahan dan menjadi sumber fitnah. Kedua zinah muktasabah (perhiasan yang dibuat manusia), seperti baju, gelang dan pupur.
Ayat tersebut mengharamkan kepada wanita menampakkan perhiasan secara mutlak, baik perhiasan  khalqiyyah maupun perhiasan muktasabah, maka haram bagi wanita menampakkan sebagian anggota badannya atau perhiasaannya dihadapan orang laki-laki. Mereka mena’wilkan firman Allah: “Illa ma zahara minha” (kecuali apa yang biasa tampak daripadanya), bahwa yang dimaksudkan dengan ayat tersebut ialah: “menampakan tanpa sengaja”, seperti tersingkap karena angin, baik wajah atau anggota badan lainnya, sehingga ma’na ayat tersebut menjadi sebagai berikut: “Janganlah mereka menampakkan perhiasannya selam-lamanya”.
2). Hadits yang diriwaytakan oleh Ibnu Abbas ra, ia menceritakan, bahwa Nabi saw memboncengkan al-Fadl ibnul-Abbas pada hari Nahr dibelakangnya, dia adalah orang yang bagus rambutnya, dan berkulit putih. Ketika itu datanglah seorang wanita minta fatwa kepada beliau, kemudian al-Fadl melihatnya dan wanita itupun melihat al-Fadl. Kemudian Rasulullah saw memalingkan wajah al-Fadl kearah lain… (ditahrijkan oleh al-Bukhari, dari Ibni Abbas, bab Hajji Wada’)
3). Apabila keharaman meliha rambut dan kaki telah disepakati oleh para ulama, maka keharaman melihat wajah adalah lebih pantas disepakati, sebab wajah adalah asal keindahan dan juga  sumber fitnah, maka bahya memandang wajah adalah lebih besar.

b.      Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat, bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan dua tapak tangan, dengan alasan:
1). Bahwa firman Allah SWT: “Wa la yubdiha zinatahunna illa ma zahara minha” (dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa tampak daripadanya) (an-Nur (24): 31),  ayat tersebut mengecualiakan apa yang biasa tampak, yang dimaksudkannya ialah wajah dan dua tapak tangan. Pendapat tersebut dinukil dari sebagian sahabat dan tabi’in. sa’id bin Jbir juga berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan “apa yang baisa tampak” adalah wajah dan dua tapak tangan, demikian pula ‘Ata’. (at-Tabariy, Tafsir at-Tabariy, XVIII: 118).
2) mereka mengautkan pendapat tersebut dengan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah yang bunyi teksnya sebagai berikut:
Bahwa Asma’ binti Abi Bakr masuk ketempat Rasulullah saw dengan memakai baju yang tipis, kemudian Rasulullah saw berpaling daripadanya dan bersabda: Hai Asma’ seseungguhnya apabila wanita  itu sudah sampai masa haid, tidaklah boleh dilihat sebagian tubuhnya kecuali ini dan ini, dan beliau menunjuk kepada muka dan kedua tapak tangannya.” (ditahrijkan oleh Abu Dawud, dari ‘Aisyah).
3). Mereka mengatakan, diantara dalil yang memperkuat pendapat bahwa wajah dan dua tapak tangan adalah bukan aurat, ialah bahwa dalam melakukan salat dan ihram, wanita harus membuka wajah dan dua tapak tangannya. Senadainya kedua anggota badan tersebut termasuk aurat, niscayatidak diperbolehkan membuka kedaunya pada waktu mengerjakan salat dan ihram, sebab menutup aurat adalah wajib, tidaklah sah salat atau ihram seseorang jika terbuka auratnya. (as-Sabuniy, 1971, II: 155).
Demkianlah pendapat para imam tentang aurat wanita: asy-Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa seluruh anggota badan adalah aurat, termasuk wajah dan kedau tapak tangan. Adapun  imama Malik dan imaam Abu Hanifah berpendapat bahwa wajah dan kedua tapak tangan tidak termasuk aurat.
Al-Qasimiy mengutip pendapat as-Siyutiy dalam al-Iklil: Ibnu Abbas, sebagimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, berpendapat bahwa wajah dan dua tapak tangan adalah bukan aurat. Pendapat inilah yang dijadikan alasan bagi orang yang memperbolehkan melihat wajah da  tapak tangan wanita selama tidak menimbulkan fitnah. (al-Qasimiy, 1978, XII: 195).
Jika dihubungkan dengan sebab nuzul ayat 30-31 surat an-Nur dan ayat 50 surat al-Ahzab, perintah menutup seluruh tubuh bagi para wanita, karena kekhawatiran yang mendalam akan timbulnya fitnah, karena di Madinahpada waktu itu masih banyak orang fasik yang  beradat kebiasaan jahiliyah, dan suka mengganggu para wanita. Kekhawatiran Rasulullahh saw pada waktu itu sangat masuk akal, karena beliau sangat paham terhadap adat istiadat jahiliyah.
Kekhawatiran akan adanya fitnah  pada masa kinipun masih menghantui kita, apalagi pengaruh budaya dari berbagia bangsa didunia ini yang tidak mengenal norma-norma islamiyah adalah sangat besar.
Alasan bagi pendapat bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan tapak tangan adalah lebih kuat. Sekalipun demikian menutup wajah  dan tapak tangan tidaklah terlarang, bahkan merupakan perbuatan kehati-hatian yang terpiji, dan menutup aurat dengan libasut-taqwa (pakaian taqwa) adalah paling baik.

Referensi: Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites