Minggu, 22 April 2012

BATASAN MEMANDANG


Interaksi perempuan dan laki-laki terjadi di mana saja dan dalam berbagai aktifitas, baik di tempat kerja, kuliah, berorganisasi, di jalan, maupun tempat-tempat publikyang lain. Saat berinteraksi dan menjalin komunikasi, memungkinkan mereka saling bertatap muka dan memandang. Lalu bagaimana batasan memandang bagi perempuan dan laki-laki dalam interaksi sosial ini? Apa yang dimaksud dengan memandang pandangan?
Menurut Syekh Yusuf Al-Qardhawi, menahan pandangan yang diperintahkan dalam surah An-Nisa ayat 30-31 kepada perempuan juga laki-laki ini bukanlah memejamkan mata atau menundukkan kepala sehingga tak dapat melihat seseorang. “Hal itu tak mungkin dapat dilakukan manusia,” katanya.
Arti dari menahan pandangan adalah membebaskan pandangan dari tempat-tempat fitnah yang merangsang.dengan demikian, laki-laki diizinkan melihat perempuan dengan catatan tak melihat auratnya dan tak disertai syahwat. Saat mereka melakukan hal itu, hukumnya haram.
Hal yang sama juga berlaku bagi perempuan. Perempuan boleh memandang laki-laki secara beradab dan menahan pandangannya, juga tak melihat aurat laki-laki yang tentu saja diharamkan. Berhubungan dengan hal ini, Al-Qardhawi melalui bukunya Fatwa-Fatwa Kontemporer, mendukung argumentasinya dengan hadis Nabi Muhammad.
Ia mengatakan, Imam Ahmad dan Imam lainnya meriwayatkan hadis dari Aisyah, yang menjelaskan bahwa Aisyah memandang pada laki-laki. Menurut Aisyah, orang-orang Habsyi pernah bermain-main di sebelah rumah Rasulullah saat hari raya. Ia melihat mereka dari atas pundak Rasul.
“Beliau merendahkan pundaknya karena saya. Saya melihat mereka dari pundak beliau sehingga saya puas kemudian saya berpaling,” ujar Aisyah. Menurut Al-Qardhawi, sebagian golongan Syafiiyah berpandangan, laki-laki tak boleh memandang perempuan dan perempuan pun tak boleh memandang laki-laki.
Pandangan mereka bersandar pada hadis riwayat Tirmidzi yang berasal dari Ummu Salamah dan Maimunah, keduanya istri Nabi Muhammad. Dalam hadis itu, Rasulullah memerintahkan Ummu Salamah Maimunah berhijab dari Abdullah bin Ummi Maktum. Keduanya merespons, “Bukankah dia tunanetra yang tak dapat melihat kami?”
Rasul balik bertanya kepada mereka, “Apakah kamu berdua tunanetra? Bukankah kamu berdua dapat melihat?” Al-Qardhawi mengungkapkan, hadis ini tak dapat menjadi dasar bagi mereka yang menegaskan bahwa perempuan tak boleh memandang laki-laki, demikian pula sebaliknya.
Alasannya, hadis itu tak luput dari cela, yaitu dari sisi sanad dan dilalahnya. “Hadis ini tak mencapai derajat seperti hadis-hadis yang diriwayatkan dalam Shahihain yang mengizinkan perempuan memandang laki-laki atau sebaliknya. Pada intinya, perempuan boleh memandang laki-laki dan sebaliknya, bukan pada bagian auratnya.”
Mayoritas ahli fikih menetapkan aurat laki-laki itu adalah bagian antara pusar dan lutut. Sedangkan bagian lainnya, seperti wajah, rambut, lengan, bahu, betis, dan bagian lainnya, boleh dipandang. Namun tetap saja ada batasan yang harus dipatuhi, yaitu tak memandang dengan disertai hawa nafsu.
Jika sesorang memandang lalu timbul hasrat, mestinya seseorang itu menahan pandangannya. Jangan malah meneruskan keinginan nafsunya itu. Inilah yang dianggap sebagai pandangan yang menuntun pada perzinahan yang sebaiknya dihindari.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites